Merenungkan Ibu
Dalam bulan Desember 2011 ini ada sederet hari-hari penting yang memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan kembali apa makna di balik hari-hari penting tersebut. Ada dua hari penting yang saling bersentuhan yakni Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diperingati setiap tanggal 10 Desember dan Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Bertepatan dengan Hari HAM sedunia 10 Desember, ini merupakan saat yang
sangat tepat untuk merenungkan kembali
tindak tanduk dan perilaku kita
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan
menarik, apakah kita sebagai
satu dari 240 juta bangsa Indonesia sudah
menghormati harkat dan
martabat sesama? Sebab yang kita
saksikan saat ini adalah, kekerasan, terorisme, pembunuhan, penganiayaan,
perkosaan, perdagangan anak dan perempuan, dan lain-lain terus
terjadi dan manusia
menjadi korban. Manusia tidak lagi menjadi ‘ homo homini socius’, mahluk sesama untuk sesama, tetapi lebih tampil sebagai ‘homo homini lupus’,
manusia menjadi srigala untuk sesamanya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), adalah satu
dari sekian pelanggaran HAM yang mayoritas juga dialami oleh Ibu.
Maka, tanggal 22
Desember, bertepatan dengan Hari Ibu
Nasional, kita pantas melakukan
permenungan, khusus bagi ibu, terutama
ibu kita masing-masing dan selaksa ibu
di negeri tercinta, juga ibu dalam
konteks global. Apakah perlakuan
anak terhadap ibu sudah sungguh
mencerminkan bhakti anak pada ibunya?
Apakah suami sudah memberikan penghargaan pada ibu yang
melahirkan dirinya dan anak-anaknya? Apakah
hukum berpihak pada kaum
ibu? Apakah kebijakan politik dan
pembangunan juga memperlihatkan
kepedulian pada kaum ibu? Atau justru
sebaliknya, masih ada perendahan harkat dan martabat kaum ibu?
Jika jawabannya, dan kenyataannya adalah ‘ibu’ masih menerima perlakuan yang
tidak manusiawi, saatnya semua
pihak harus kembali meneropong diri dan jiwanya untuk mendapatkan
jawaban bahwa engkau
bukan kecambah yang tumbuh
dari tanah olahan petani,
tetapi engkau adalah kehidupan yang
tumbuh dalam rahim seorang perempuan
oleh perkawinan suci lalu dilahirkan dalam perjuangan antara hidup dan mati
seorang ibu sejati. Dan, untuk kita renungkan bersama, laki-laki memang
diciptakan untuk menguasai alam, tetapi perempuan diciptakan untuk menguasai
laki-laki. Anda tentu bisa
menginteprestasi lebih cerdas lagi.***agust g thuru
Komentar
Posting Komentar