AKU MENGENANG MAGHILEWA


 















Kampung Maghilewa terletak di lereng gunung Inerie, desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Untuk bisa sampai ke kampung Maghilewa, bisa ditempuh dengan tiga alternatif. Bagi yang datang dari Labuanbajo, Ruteng atau Mborong dengan kendaraan umum, turun di pertigaan Aimere-Bajawa-Ruto (kampung Ende). Anda memilih untuk menggunakan kendaraan umum (kalau sudah ada bemo), Ojek atau bagi yang suka trekking bisa jalan kaki.

Bagi yang senang bertualang, pasti memilih jalan kaki sejah 8 kilometer. Kampung-kampung yang akan dilalui adalah Lekogoko, Waewaru, Malanegulengi, Kila, Waiwae, Paupaga, Pomasule dan akhirnya tiba di Malapedho. Jika perjalanan diteruskan maka akan melalui kampung Waengongo, Pali, Ruto, Kelitei dan berakhir di Waebela yang yang adalah ibukota Kecamatan Inerie.Ruas jalan menyusuri pesisir pantai dengan laut biru serta bibir pantai yang eksotik membuat perjalanan anda tak membosankan.

Dari Malapedho, anda dapat ke Maghilewa dengan kendaraan roda dua atau roda empat atau jalan kaki sejauh emat kilometer dengan menyusuri ruas jalan yang topografinya penuh jurang dan menanjak. Anda akan melalui ruas jalan yang disebut Watu Selie dan Ngeke dimana di kiri kanan jalan terdapat jurang sedalam 100 meter. Tetapi dari ruas jalan ini anda bisa menikmati matahari terbenam di ufuk barat yang memancarkan panorama yang luar biasa indahnya.
Malapedho adalah sebuah kampung yang sudah mengikuti perkembangan jaman dengan penataan tata ruang serta bangunan-bangunan modern atau bangunan semi permanen dan permanen. Kampung ini terletak di pinggir pantai Wae Sugi dan merupakan hasil pemekaran dari kampung Maghilewa yang ada di lereng gunung Inerie.Di Malapedho terdapat sebuah sekolah dasar dan sebuah SMP Negeri yang sebelumnya adalah SMP Pancakarsa.

Perjalanan anda ke kampung Maghilewa akan melewati areal kebun dengan pohon kelapa serta pohon cengkeh yang senantiasa menghijau sepanjang tahun. Juga terdapat tanaman pisang Kepok serta tanaman lainnya seperti vanili, jambu mente dan lain-lain. Sebelum sampai di Maghilewa anda akan menemukan sebuah kampung tradisional yakni kampung Jere. Baik penghuni kampung Maghilewa maupun kampung Jere mempunyai ikatan adat yang sama.


Sebelum masuk  kampung Maghilewa, Anda akan  menemukan sebuah Gereja, kuburan dan pastoran. Dulu  Maghilewa adalah pusat paroki  namun  tahun 1969  pusat paroki  dipindahkan ke Ruto  oleh Pastor Coen Clasens,SVD.
 

Untuk bisa sampai ke Maghilewa, bagi yang datang dari Maumere atau Ende, harus turun di Bajawa kemudian dengan kendaaan umum menuju Aimere, turun di pertigaan Aimere-Bajawa-Ruto (kampung Ende) selanjutnya mengikuti jalur perjalanan seperti pada alternatif pertama.Bagi yang senang bertualang, bisa menempuh dengan berjalan kaki dari Bajawa menuju Langa, melewati kampung Bela, Waerongo dan menyusuri lereng gunung Inerie bagi barat dan bagian selatan sampai tiba di kampung Watu. Kampung Watu adalah salah satu kampung tradisional yang hanya dua kilometer dari aghilewa, namun masuk wilayah desa Sebowuli. Namun secara sosiologis memiliki katan adat yang sama dengan masyarakat Maghilewa. Jika alternatif ini yang dipilih maka anda akan menyaksikan panorama yang luar biasa indah. Panorama gunung Inerie, panorama Waerongo dan akhirnya panorama hamparan laut Sawu yang indah.

Di Maghilewa, anda dapat menyaksikan rumah adat yang masih asli, dibangun sesuai dengan aslinya. Rumah adat bagi masyarakat disebut Sao Meze (rumah besar). Ada beberapa jenis rumah adat yakni Sao Saka Pu'u, Sa'o Saka Lobo dan Sao Da'i atau Sao Pibe. Di Maghilewa berdiam suku-suku Thuru Woe Ruma, Kutu, Kemo, Poso dan suku Boro. Masing-masing suku mempunyai rumah adat, ngadhu, bhaga dan ture.

Setiap tahun pada 27 Desember diadakan dheke reba, sebuah seremoni adat yang hampir dlakukan oleh masyarakat etnis Bajawa. Namun budaya reba konon mulai tergerus modernisasi dan terancam punah. Karena itu diperlukan komitmen dari pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata atau Dinas Kebudayaan untuk melestarikan kearifan lokal yang ada di bajawa. Kalau tidak, anak cucu kita hanya akan mendengar ceritera, tetapi tidak tahu lagi melakukannya. 


 Sudah lama aku meninggalkan kampung Maghilewa Desa Inerie, Kecamatan Inerie. Sejak tahun 1997 aku sudah meninggalkan kampung tercinta bersama orang-orang tercinta, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Aku meninggalkan keluarga Sao Ledo, meninggalkan keluarga Woe Thuru.Tapi itulah hidup yang harus aku jalani, demi dan untuk memperjuangkan kehidupan keluarga, jauh dari kampung halaman, dan tak mau membuat keluarga dibebani. Tapi Maghilewa tetap menjadi kampung yang kucintai sebab di sana ada pusara orang-orang yang sangat kucintai. Di sana ada pusara ayahku Arnoldus Deghe dan ibuku Fransiska Wula, di sana ada pusara nenek moyangku, nenek Monika Moi. Di sana ada pusara paman-pamanku, tanta dan keluargaku yang lain.
 

Di Maghilewa, masih ada tanta-tanta yang kucintai, Dominika Ngodhi, Bernadeta Naru dan Petronela Meda. Mereka adalah generasi 'Ibu' yang masih hidup, menapak tua, menuju kesempurnaan hidup yakni akhir jaman yang semua manusia harus mengalaminya. Di sana masih ada saudara-saudara dan saudari-saudari serta anak-anak dan cucu-cucu. Dan di sana masih tegak berdiri rumah adatku Sao Ledo, Sao Lokatua, Sao Sila, Sao Lilo, Sao Deghe dan Sao Bupu Luwu. Di sana masih tegak berdiri Ngadhu Liko dan Bhaga Bari, simbol budayaku dan yang tetap membaptis aku menjadi manusia yang berbudaya.
 

Aku memang tak perlu berkecil hati karena tak bisa tinggal di kampung yang terletak di lereng gunung Inerie itu. Aku bersama saudara-saudaraku juga memilih merantau, keluar dari kampung itu dan menggapai hidup di tanah orang. Di Maumere, ada keluarga kakak tercinta Damian Angideghe, di Kupang ada keluarga adikku Josefina Moi dan kakakku Emanuel Thuru, di Manggarai ada adikku Herman Ruba Thuru, Quirinus Welle, Alo Bele, Yoseph Rawi, Ose Dhey, Lipus Fongo dan lain-lain, di Kalimantan ada adik-adikku Yohanes Ruma Thuru, Nikolaus Beo Thuru dan David Leke Thuru. Di sana pula ada anak-anak dan cucuku Martina Meo dan anak-anaknya. Dan di Bajawa, Ibukota Kabupaten Ngada, ada pusara ayah angkatku Philipus Sikku dan ada ibu angkatku Elisabeth Ega yang masih hidup dan berusia tua.
Kami memang sudah lama tak bersua muka. Tapi dalam doa kami selalu bersua muka, berpagut jiwa dan menyatu sukma, bahwa hidup memang harus terus berjuang dalam ketakputusasaan.


Sejak meninggalkan  kampung Maghilewa tahun 1997  silam,  empat kali  aku pulang  kampung. Pertama tahun 2010 saat menghadiri pelantikan Bupati Ngada  Marinuas Sae. Saya berterimakasih kepada  sahabat  Agustinus Lobo  yang kini  anggta DPRD NTT. Dialah yang membiayai  saya  pulang  untuk menghadiri pelantikan Pak Marianus Sae, sahabat  kami  di Bali yang terpilih sebagai Bupati Ngada periode 2010-2015. 

Kedua, Reba Desember 2012  bersama adik  Yohanes Ruba Thuru. Saya pulang ketika itu karena ada pembicaraan penting  dalam  suku Thuru  yang merencanakan  mendirikan kembali Ngadhu Liko. Ketiga, Juli  2013  ketika  Woe Thuru  mendirikan  Ngadhu Liko. Keempat  Oktober 2014, ketika saya  mengantar jenasah adik Fransiskus  Lae. Entah kapan  saya  pulang lagi, tapi  Maghilewa  tetap memiliki daya tarik. Ke kampung, aku pasti pulang.***agust g thuru




Komentar

  1. berkesan sekali tulisan ini. di manapun kita berada jangan lupa dari mana darah kita mengalir dan tali pusar kita dikuburkan. saya sonny lagasina anaknya pak jony laga sina dari kampung ruto. sy tinggal di maumere

    BalasHapus
  2. Malapedho adalah sebuah kampung yang tak akan lekang dimakan jaman tetap terpatri dalam sanubariku dan tercatat dalam buku dan kamus hidupku karena di sinilah tempat saya menuntut ilmu di SMP (Panca Karsa Malapedho ~ Sekarang SMPN Malapedho. Saya menghabiskan masa sekolah di sini selama 3 tahun dengan prestasi yg luar biasa membanggakan diriku dan keluargaku. Terima kasih Malapedho engkau selalu dihati..

    BalasHapus
  3. Malapedho adalah sebuah kampung yang tak akan lekang dimakan jaman tetap terpatri dalam sanubariku dan tercatat dalam buku dan kamus hidupku karena di sinilah tempat saya menuntut ilmu di SMP (Panca Karsa Malapedho ~ Sekarang SMPN Malapedho. Saya menghabiskan masa sekolah di sini selama 3 tahun dengan prestasi yg luar biasa membanggakan diriku dan keluargaku. Terima kasih Malapedho engkau selalu dihati..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KOPDIT SINAR HARAPAN

KSP MULIA SEJAHTERA TABANAN