Menyoal Pajak Koperasi



Menyoal Pajak Koperasi


Musim Rapat Anggota Tahunan (RAT) Tahun Buku 2013  sudah tiba. Pada Januari  sampai Maret 2014  primer-primer  anggota Puskopdit Bali Artha Guna melaksanakan RAT  disusul pada April 2014  nanti  RAT Puskopdit Bali Artha Guna yang  menurut rencana akan diselenggarakan di Wisma Inkopdit Jakarta.

Sejumlah primer dengan jumlah anggota  di atas seribu orang mengawali RAT  dengan melaksanakan Pra RAT  sehingga  dalam RAT hanya  dihadiri oleh para utusan yang disepakati oleh Pra RAT. Baik  dalam Pra RAT maupun saat RAT hal-hal yang dilaporkan oleh kepengusan (Pengurus dan Pengawas) antara lain laporan pertanggungjawaban pengurus, laporan pengawas, rancangan rencana kerja, rancangan rencana anggaran dan biaya dan rencana pola kebijakan.

Hal penting yang disampaikan pengurus dalam RAT  adalah laporan keuangan dalam tahun buku 2013 yang  berkaitan dengan pendapatan operasional, beban operasional, beban operasional lainnya, pendapatan non operasional  dan beban non operasional lainnya. Pengurus  juga akan memaparkan kepada anggota  hasil usaha non operasional, SHU sebelum pajak, beban taksiran pajak dan SHU setelah pajak.

Terkait dengan  pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  telah merilis aturan pajak yakni Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha  yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini  mulai diberlakukan sejak 1 Juli 2013 lalu dan berdasarkan peraturan pemerintah tersebut  Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto  di atas Rp 4,8 miliar  dikenakan wajib pajak 1 persen.Selain PP Nomor 46 Tahun 2013 pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:197/PMK.03/2013  yang ditetapkan  tanggal 20 Desember 2013 dan mulai berlaku efektif  sejak 1 Januari 2014.

Kedua produk hukum ini  ditujukan kepada  kalangan pengelola usaha  mikro, kecil dan menengah (UMKM). Tak ada satu kata pun yang menyebutkan  bahwa koperasi  masuk dalam  UMKM  sehingga  dikenakan pajak 1 persen  jika peredaran bruto  mencapai di atas 4,8 miliar.  Namun  secara jelas disebutkan bahwa subyek pajak  adalah wajib pajak  yang memenuhi kriteria wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Dengan demikian  koperasi  sebagai  lembaga yang berbadan hukum adalah subyek pajak. Karena itu bagi koperasi yang peredaran brutonya  mencapai di atas Rp 4,8 miliar  berkewajiban  membayar pajak 1 persen.

Dalam  UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan pasal 1 angka 3  ditegaskan bahwa  Badan  adalah  sekumpulan orang dan/atau yang merupakan kesatuan baik  yang elakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut  maka koperasi termasuk sebagai wajib pajak badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan  termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.


Cermati Regulasi

Pemerintah  dalam enam bulan terakhir (Juni  sampai Desember 2013)  telah menerbitkan  dua peraturan  yang sama-sama  mengatur tentang pajak  Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.Peraturan dimaksud adalah Peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang ditetapkan 1 Juli 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013  yang ditetapkan  tanggal 20 Desember 2013 dan mulai berlaku efektif  sejak 1 Januari 2014.

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2013 tersebut memang  tidak secara  terang menyebutkan “koperasi” sebagai subyek pajak  namun Pasal  2 ayat (2) menegaskan wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap  dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.

Dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2013 ini maka ada perubahan signifikan tentang pengenaan pajak  bagi koperasi maupun usaha mikro, kecil dan menengah. Sejak 1 Juli 2013  Badan Hukum  Koperasi dikenakan pajak 1% dari peredaran  bruto  atau  omzet. Sebelum  PP Nomor 46 Tahun 2013  keluar pengenaan pajak bagi koperasi  adalah 12,5 % dari selisih hasil usaha (SHU). Ini berarti pengelola koperasi harus membayar pajak untuk satu tahun pajak sebesar 1%  dari omset, bukan 12,5% dari SHU. Suka atau tidak, mau atau tidak mau, karena kewajiban membayar pajak 1%  sesuai amanat PP Nomor 46 Tahun 2013 telah diundangkan maka wajib pajak termasuk koperasi  harus patuh.

Selain  diatur melalui PP Nomor 46 Tahun 2013, soal pajak Usaha Kecil Menengah (UKM)  juga diatur melalui  Peraturan Memneri Keuangan Nomor: 197/PMK.03/2013 yang ditetapkan tanggal 20 Desember 2013 dan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2014. Melalui PMK ini pemerintah  resmi menaikkan  batasan  omzet  pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan  sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)  atau menjadi Wajib PPN menjadi Rp 4,8 miliar setahun. Sebelumnya  omzet pengusaha kecil yang kena pajak minimal Rp 600 juta setahun.

Menurut  Kepala Seksi Hubungan  Eksternal Ditjen Pajak, Chandra  Budi, dengan adanya  Peraturan Menteri Keuangan  ini,  maka pengusaha dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar  setahun dan memilih menjadi non PKP  tidak diwajibkan  menjadi PKP dan menjalankan kewajiban perpajakan yang melekat. Menurutnya Peraturan Menteri Keuangan ini diterbitkan dengan maksud untuk mendorong Wajib Pajak dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun lebih banyak berpartisipasi menggunakan Skema Pajak Penghasilan (PPh) Final menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berjalan sejak Juli 2013 lalu karena tidak kuatir lagi dengan efek perpajakan PPN-nya.

Dikatakan Chandra Budi, dengan naiknya batasan omzet ini, maka bagi PKP dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dan memilih untuk menjadi non PKP, tidak diwajibkan lagi untuk membuat Faktur Pajak dan tidak perlu lagi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN sehingga biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) menjadi lebih rendah. Secara umum, dengan adanya aturan ini akan memudahkan Wajib Pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga, dengan adanya kemudahan ini ditambah kemudahan lain yang telah ada, maka Wajib Pajak akan menjadi lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.


Pajak 1% dari Omzet

Meskipun telah diberlakukan selama  setengah tahun ini namun  keberadaan PP Nomor 46 Tahun 2013  tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha  yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu masih mengundang pro dan kontra. Pasalnya pajak 1% dari omset dirasa sangat memberatkan.

Sejak diberlakukan 1 Juli 2013  sampai  pertengahan Desember 2013  tercatat ada ratusan  UKM  yang mengajukan keberatan  terhadap tarif pajak 1 persen. Ketua Komite Pengawas Perpajakan Daeng M Nazier saat sosialisasi peran dan tugas Komite Pengawas Perpajakan  di Makasar Senin (16/12/2013) lalu mengakui  banyak keluhan dan komplain dari UKM terkait dengan pemberlakuan tarif pajak 1% bagi UKM tersebut. Karena itu pemberlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013 akan dikaji ulang oleh Komite Pengawas Perpajakan.

Dikatakan Daeng,Komite Pengawas Perpajakan sering menerima keluhan dari wajib pajak tentang ketidakadilan, ketidakpastian, dan keterlambatan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Ada juga pengaduan terkait sistem, prosedur, kebijakan, dan ketentuan perpajakan yang berlaku.Semua ketentuan perpajakan yang tidak efektif dan kurang memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan akan disampaikan ke Menteri Keuangan.

Namun menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM Sjarifudin Hasan, pengenaan pajak UMKM sebesar satu persen dan peredaran bruto (omzet) lebih menguntungkan karena secara nominalnya jauh lebih kecil. Dengan PP Nomor 46 Tahun 2013, kata Syarifudin Hasan, UMKM termasuk koperasi dikenakan pajak lebih kecil dari sebelumnya yang besarnya disamakan dengan usaha besar. Ia  menegaskan pengenaan pajak berdasarkan omzet lebih memudahkan UMKM dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Syarif mengatakan untuk perusahaan besar ketentuannya antara 15, 25 dan 35% dan sesuai keuntungan sedangkan pajak UMKM  final satu persen.

Widyaswara BDK Yogyakarta, Roy Martfianto mengatakan pemajakan  tidak akan pernah menyenangkan  bagi setiap wajib pajak. Bahkan kalaupun  tarif pajak dirilis hingga 0,1%  tidak akan  ada yang secara sukarela berbondong-bondong mendaftarkan diri  untuk mempunyai NPWP dan kemudian pada akhir tahun memenuhi kewajibannya untuk  menyetor pajak. Menurutnya  pajak 1%  sesungguhnya lebih menguntungkan  wajib pajak kalau dibandingkan dengan  penerapan  tarif umum PPh. Sayangnya  benefit ekonomi ini tetap tidak akan membuat kalangan wajib pajak terutama koperasi dan UMKM merasa  “diuntungkan” oleh tarif  pajak yang sesungguhnya rendah itu.


Sulit  Berkelit

Pemberlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013  disebut-sebut sebagai senjata pamungkas bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk “mengejar” para wajib pajak yang lalai. Para pelaku UMKM tak bisa berkelit lagi dari kewajibannya  membayar pajak.

Menurut Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kismantoro Petrus, selama ini banyak pelaku UMKM yang beraktivitas di sektor informal yang belum memiliki pencatatan dan pembukuan yang rapi mangkir menyetor pajak. Bahkan, banyak sentra usaha yang hasil pajaknya tidak sesuai dengan potensi dan realitas bisnisnya. Ia memberi contoh Pasar Tanah Abang, perputaran uang di pasar sudah ratusan miliar perhari namun  hanya menghasilkan setoran pajak Rp 6 juta saja.

Menurut Direktorat Jenderal Pajak penerimaan pajak Penghasilan (PPh) dari sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tahun 2013 masih minim.Karena itu DJP akan lebih gencar dalam mengejar wajib pajak, meski tahun ini pemerintah telah memberikan keringanan kepada pengusaha yang beromzet di bawah Rp 4,8 miliar setahun, dengan tidak perlu membayar pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kepala Seksi Hubungan Eksternal Dirjen Pajak Chandra Budi, Minggu (5/1/2014)  mengatakan, masih minimnya penyerapan pajak UMKM tahun 2013 karena kurangnya sumber daya yang dimiliki Dirjen Pajak. Selain itu, infrastruktur untuk memungut pajak dari pengusaha UMKM ini juga masih belum sempurna. Pihaknya pun berjanji akan menyisir sentra-sentra usaha di Indonesia supaya para pedagang lebih patuh lagi membayar pajak.Soalnya  meski beromzet besar  namun  selama ini tak tersentuh pajak.

Di tahun 2014 ini Direktorat Jenderal Pajak  berencana akan  menyisir para pelaku usaha  mikro, kecil dan menengah  di pasar-pasar besar di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini  dilakukan karena menurut DJP peredaran uang di pasar-pasar besar  mencapai ratusan miliar perhari  namun  belum tersentuh pajak.

Tampaknya  Direktorat Jenderal Pajak  harus bekerja keras  untuk mengumpulkan  uang dari sektor pajak. Hal ini karena dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  tahun 2014  pemerintah menargetkan  penerimaan negara  dari sektor perpajakan sebesar Rp 1.110,2 triliun. Dengan demikian jika para pelaku UMKM di Indonesia  taat membayar pajak maka  penerimaan negara tahun 2014 dari sektor perpajakan bisa tercapai.

Meskipun DJP berupaya untuk memacu para pelaku UMKM  agar taat membayar pajak, namun  kalangan  elit UMKM  justru berencana untuk  mengajukan  judicial review  terhadap PP Nomor 46 Tahun 2013. Menurut Sektertaris Jenderal Asosiasi Pedangan Pasar Seluruh Indonesa (APPSI) Ngadiran, penetapan pajak 1% dari omzet merupakan bukti bahwa rakyat kecil selalu menjadi korban kebijakan pemerintah dan sangat jelas bahwa pemerintah ingin memastikan target penerimaan negara dari pajak bisa tercapai dengan mudah. Katanya, tarif pajak 1% dari omzet  sangat merugikan pedagang  karena margin keuntungan pedagang tidak besar.

Dikatakan Ngadiran para pengusaha kecil bekerjasama dengan  asosiasi pengusaha kecil lainnya akan menggugat kebijakan pajak ini  dengan mengajukan uji materiil atau  judicial review  ke Mahkamah Agung. Kapan  hal itu dilaksanakan, ia mengatakan saat ini sedang dipersiapkan materinya. Yang jelas dalam tahun 2014 ini  pihaknya  akan mengajukan  uji materiil  kepada Mahkamah Agung.


PP Nomor 46/2013

Peraturan Pemerintah  (PP) RI Nomor 46 Tahun 2013  tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima  atau Diperoleh Wajib Pajak  yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu. PP tersebut memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 1 PP Nomor 46 Tahun 2013  menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah ini  yang dimaksudkan dengan: 1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 2.Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Pasal 2 ayat (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan b.Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Ayat (3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya: a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan b.menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Ayat (4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b.Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 3  ayat (1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). Ayat (2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Ayat (3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Ayat (4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 4 ayat (1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Ayat (2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 6 Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 8 Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut: a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak; b.Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a; c.kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10 Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 2.didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;3.didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 11 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangkan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.PP ini ditetapkan di Jakarta  12 Juni 2013 oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono  dan diundangkan di Jakarta  tanggal 13 Juni 2013  oleh Menteri Hukum dan HAM RI Amir Syamsudin.


PMK 197/2013

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor  197/PMK.03/2013  adalah peraturan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Peraturan Menteri Keuangan ini  ditetapkan  dengan pertimbangan; a.bahwa ketentuan mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai;b.bahwa dalam rangka memberikan kemudahan kepada pengusaha yang memiliki peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tertentu, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 1: Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (1) Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Ayat (2) Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya. Ayat (3) Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tahun kalender.

2.Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1) Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Ayat (2) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

3.Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) Apabila diperoleh data dan/ atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

4.Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. PMK ini ditetapkan di Jakarta tanggal 20 Desember 2013  oleh MenteriKeuangan RI  Muhamad Chatib Basri dan diundangkan di Jakarta tanggal 20  Desember 2013 oleh Menteri Hukum dan HAM RI Amir Syamsudin.*agus g thuru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KOPDIT SINAR HARAPAN

KSP MULIA SEJAHTERA TABANAN