Menyaksikan Ritual ‘Bhei Ngadhu’ di Maghilewa Ngada Flores



Menyaksikan Ritual  ‘Bhei Ngadhu’ di Maghilewa Ngada Flores

Menampilkan IMG_8430.JPG




 

Masyarakat etnis Bajawa percaya  bahwa mereka berasal dari nenek moyang (ebu nusi)  suami istri yang kemudian melahirkan  anak cucu sampai pada keturunan mereka saat ini. Untuk menghormati  leluhurnya itu  masyarakat  Bajawa  mendirikan Ngadhu, sebuah bangunan kecil di tengah kampung sebagai lambang leluhur laki-laki dan sebuah rumah kecil, juga di tengah kampung  yang disebut Bhaga, lambang leluhur perempuan.




Masing-masing Ngadhu dan Bhaga memiliki namanya sendiri dan nama itu sakral, dihormati dan disapa pada saat upacara adat yang dikenal sebagai Sa Ngaza. Di berbagai kampung adat di Ngada hampir pasti  Ngadhu dan Bhaga tetap berdiri, meskipun  di sejumlah kampung  telah kehilangan roh tradisionalnya karena rumah adatnya  sudah tidak asli lagi.




Khusus  Ngadhu yang belum pernah diganti, sulit untuk mengetahui berapa usianya. Bahkan ada yang usianya sudah limaratus tahun. Ngadhu baru bisa diganti kalau  benar-benar sudah rusak. Untuk mendirikan sebuah Ngadhu baru, harus melalui  ritual  yang unik dan menghabiskan biaya hingga ratusan juta rupiah.  Penulis  berkesempatan  mengikuti ritual “Bhei Ngadhu”  atau ritual memikul Ngadhu  di Kampung Maghilewa, Desa Inerie, Kecamatan  Inerie Kabupaten Ngada  dari  tanggal 1  sampai 9 Juli 2013 lalu. Ritual Bhei Ngadhu ini diselenggarakan oleh Suku (Woe) Thuru  yang mengganti  Ngadhu bernama Liko  karena sudah berusia 500 tahun lebih. Liko adalah  nenek moyang laki-laki dari suku Thuru Ebu Ruma.

 

 Menampilkan IMG_8438.JPG

 

 




Upacara Bhei Ngadhu  diawali dengan  ritus “Tau Tibo” untuk menentukan  letak pohon yang  pantas dijadikan Ngadhu. Media yang dipakai dalam Ritus  Tibo ini adalah ranting-ranting bambu muda yang dimasukan ke dalam bara api  sambil membaca mantra. Jika ranting bambu meletus  pada sisi kiri berarti belum tepat dan jika meletus pada sisi kanan  berarti tepat. Namun ritus Tau Tibo bisa berlangsung hingga dua minggu dan selama itu hewan  korban berupa babi terus disembelih untuk membaca hati yang disebut :Ri’a ura ngana”.




Jika sudah ditemukan jenis kayu bernama Zebu  sebagai bahan Ngadhu  maka upacara selanjutnya adalah menggali  kayu tersebut  sampai ke akar-akarnya. Untuk upacara ini, lagi-lagi hewan korban adalah babi. Kayu bahan Ngadhu Liko suku Thuru  ditemukan di Lete, wilayah Manggarai  Timur sekitar 70 km dari kampung Maghilewa. Dulu orang harus memikulnya dengan tenaga manusia, namun sekarang karena sudah ada jalan raya dan kendaraan, pengangkutan bahan Ngadhu menjadi lebih mudah. Meski demikian pengangkutan Ngadhu menuju kampung harus tiba sebelum matahari terbenam.




Bahan Ngadhu biasanya disimpan di luar kampung. Selama tiga hari tiga malam  ratusan orang berjaga-jaga di lokasi bahan Ngadhu diletakan. Seorang  ahli ukir yang disebut “mori weti” mengukir seluruh badan kayu sehingga berubah  menjadi  kayu dengan  ukiran-ukiran yang  bermakna filosofi warisan leluhur. Memberi ukiran pada kayu Ngadhu adalah  memberi “Pakaian Kebesaran” (Sabo Weki)  pada  Ngadhu yang adalah lambang dari leluhur bernama Liko.




Setelah tiga hari mengukir, dilaksanakan upacara Bhei Ngadhu  atau  mengusung Ngadhu  dari luar kampung  dan masuk ke dalam kampung. Semua anggota suku dan warga desa menyaksikan  upacara Bhei Ngadhu ini. Puluhan orang mengusung  Ngadhu yang ditunggangi oleh dua orang  yakni  Saka Pu’u (tetua rumah adat pokok)  dan Saka Lobo (tetua rumah adat puncak). Upacara ini  diiringi dengan musik tradisional Go Laba (gong gendang)  dan orang-orang menari (ja’i). Upacara ini  berakhir dengan  makan bersama.




Upacara selanjutnya adalah pembongkaran Ngadhu  lama  untuk dikuburkan, layaknya menguburkan manusia. Kemudian  sehari  sebelum Ngadhu  baru ditanam  para pemilik Ngadhu, dan  mereka yang masih bertalian adat  bergembira ria sepanjang hari  ditandai dengan tarian Ja’i. Keluarga atau suku lainnya  yang mengambil bagian  dalam ritual ja’i itu berarti mereka ikut menyumbang hewan korban  babi atau kerbau untuk disembelih pada hari berikutnya.




Ritual Bhei Ngadhu  selanjutnya adalah menanam Ngadhu baru (Gose atau Mula Ngadhu)  dengan  iringan  Go Laba dan tarian ja’i. Ngadhu pun diberi atap dan  jika telah diberi atap maka  Ngadhu yang sudah berdiri tegak itu  adalah pengganti Ngadhu lama. Bagi suku Thuru  dengan  enam rumah adat (Sa’o meze)  Ngadhu yang baru itu adalah pembaharuan dari leluhurnya bernama Liko.




Puncak  dari seluruh ritual Bhei Ngadhu  adalah persembahan hewan korban berupa kerbau dan babi. Dulu  untuk upacara mendirikan Ngadhu  bisa menyembelih  ratusan ekor kerbau sesuai dengan filosofi  waktu itu “sogo tolo jogho na’a kena mata go, tana kapa-kapa na’a kena mata laba” (bila perlu menghutang yang penting bisa membangun Ngadhu). Saat ini  masyarakat mulai sadar  dan menyederhanakan jumlah hewan korban.

 

 Menampilkan IMG_8462.JPG




Adapun Suku Thuru  telah mengorbankan hewan korban untuk ritual Bhei Ngadhu Liko  yakni seekor kerbau  dan  15 ekor babi. Semua hewan korban ini kemudian dimasak  dan dibagikan kepada  warga  kampung  dalam sebuah ritual yang disebut “meghe” sebagai ucapan terimakasih  atas  peran serta mereka dalam seluruh ritual membangun Ngadhu  yang baru.Darah kerbau  pun dioleskan  pada Ngadhu Liko  sebagai tanda bahwa  Ngadhu dibangun dengan korban darah dan oleh darah, semua anggota suku harus bersatu dan tak boleh ada pertumpahan darah dengan sesama.

 


 Menampilkan IMG_8605.JPG




Bagi penulis, menyaksikan seluruh jalannya ritual Bhei Ngadhu, seolah-olah kembali ke 500 tahun lalu. Penulis bersyukur dapat menyaksikan  ritual  yang boleh dikatakan langka ini karena hanya terjadi bila Ngadhu yang ada harus diganti, mungkin seratus atau limaratus tahun  mendatang. Pertanyaan  menggelayut dalam benak, akankah 500 tahun  mendatang  orang  masih mewariskan kearifan lokal leluhurnya? Ya, meskipun  saya sudah tak ada waktu itu, tapi hari ini saya berharap, kearifan lokal  akan tetap langgeng dari alfa  sampai omega, awal sampai akhir. Sebuah harapan manusiawi, sangat  manusiawi.***(Agust G Thuru)    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KOPDIT SINAR HARAPAN

KSP MULIA SEJAHTERA TABANAN