Menyaksikan Ritual ‘Bhei Ngadhu’ di Maghilewa Ngada Flores
Menyaksikan Ritual
‘Bhei Ngadhu’ di Maghilewa Ngada Flores
Masyarakat etnis Bajawa percaya bahwa mereka berasal dari nenek moyang (ebu nusi) suami istri yang kemudian melahirkan anak cucu sampai pada keturunan mereka saat ini. Untuk menghormati leluhurnya itu masyarakat Bajawa mendirikan Ngadhu, sebuah bangunan kecil di tengah kampung sebagai lambang leluhur laki-laki dan sebuah rumah kecil, juga di tengah kampung yang disebut Bhaga, lambang leluhur perempuan.
Masing-masing Ngadhu dan Bhaga memiliki namanya sendiri dan nama itu sakral, dihormati dan disapa pada saat upacara adat yang dikenal sebagai Sa Ngaza. Di berbagai kampung adat di Ngada hampir pasti Ngadhu dan Bhaga tetap berdiri, meskipun di sejumlah kampung telah kehilangan roh tradisionalnya karena rumah adatnya sudah tidak asli lagi.
Khusus Ngadhu yang belum pernah diganti, sulit untuk mengetahui berapa usianya. Bahkan ada yang usianya sudah limaratus tahun. Ngadhu baru bisa diganti kalau benar-benar sudah rusak. Untuk mendirikan sebuah Ngadhu baru, harus melalui ritual yang unik dan menghabiskan biaya hingga ratusan juta rupiah. Penulis berkesempatan mengikuti ritual “Bhei Ngadhu” atau ritual memikul Ngadhu di Kampung Maghilewa, Desa Inerie, Kecamatan Inerie Kabupaten Ngada dari tanggal 1 sampai 9 Juli 2013 lalu. Ritual Bhei Ngadhu ini diselenggarakan oleh Suku (Woe) Thuru yang mengganti Ngadhu bernama Liko karena sudah berusia 500 tahun lebih. Liko adalah nenek moyang laki-laki dari suku Thuru Ebu Ruma.
Upacara Bhei Ngadhu diawali dengan ritus “Tau Tibo” untuk menentukan letak pohon yang pantas dijadikan Ngadhu. Media yang dipakai dalam Ritus Tibo ini adalah ranting-ranting bambu muda yang dimasukan ke dalam bara api sambil membaca mantra. Jika ranting bambu meletus pada sisi kiri berarti belum tepat dan jika meletus pada sisi kanan berarti tepat. Namun ritus Tau Tibo bisa berlangsung hingga dua minggu dan selama itu hewan korban berupa babi terus disembelih untuk membaca hati yang disebut :Ri’a ura ngana”.
Jika sudah ditemukan jenis kayu bernama Zebu sebagai bahan Ngadhu maka upacara selanjutnya adalah menggali kayu tersebut sampai ke akar-akarnya. Untuk upacara ini, lagi-lagi hewan korban adalah babi. Kayu bahan Ngadhu Liko suku Thuru ditemukan di Lete, wilayah Manggarai Timur sekitar 70 km dari kampung Maghilewa. Dulu orang harus memikulnya dengan tenaga manusia, namun sekarang karena sudah ada jalan raya dan kendaraan, pengangkutan bahan Ngadhu menjadi lebih mudah. Meski demikian pengangkutan Ngadhu menuju kampung harus tiba sebelum matahari terbenam.
Bahan Ngadhu biasanya disimpan di luar kampung. Selama tiga hari tiga malam ratusan orang berjaga-jaga di lokasi bahan Ngadhu diletakan. Seorang ahli ukir yang disebut “mori weti” mengukir seluruh badan kayu sehingga berubah menjadi kayu dengan ukiran-ukiran yang bermakna filosofi warisan leluhur. Memberi ukiran pada kayu Ngadhu adalah memberi “Pakaian Kebesaran” (Sabo Weki) pada Ngadhu yang adalah lambang dari leluhur bernama Liko.
Setelah tiga hari mengukir, dilaksanakan upacara Bhei Ngadhu atau mengusung Ngadhu dari luar kampung dan masuk ke dalam kampung. Semua anggota suku dan warga desa menyaksikan upacara Bhei Ngadhu ini. Puluhan orang mengusung Ngadhu yang ditunggangi oleh dua orang yakni Saka Pu’u (tetua rumah adat pokok) dan Saka Lobo (tetua rumah adat puncak). Upacara ini diiringi dengan musik tradisional Go Laba (gong gendang) dan orang-orang menari (ja’i). Upacara ini berakhir dengan makan bersama.
Upacara selanjutnya adalah pembongkaran Ngadhu lama untuk dikuburkan, layaknya menguburkan manusia. Kemudian sehari sebelum Ngadhu baru ditanam para pemilik Ngadhu, dan mereka yang masih bertalian adat bergembira ria sepanjang hari ditandai dengan tarian Ja’i. Keluarga atau suku lainnya yang mengambil bagian dalam ritual ja’i itu berarti mereka ikut menyumbang hewan korban babi atau kerbau untuk disembelih pada hari berikutnya.
Ritual Bhei Ngadhu selanjutnya adalah menanam Ngadhu baru (Gose atau Mula Ngadhu) dengan iringan Go Laba dan tarian ja’i. Ngadhu pun diberi atap dan jika telah diberi atap maka Ngadhu yang sudah berdiri tegak itu adalah pengganti Ngadhu lama. Bagi suku Thuru dengan enam rumah adat (Sa’o meze) Ngadhu yang baru itu adalah pembaharuan dari leluhurnya bernama Liko.
Puncak dari seluruh ritual Bhei Ngadhu adalah persembahan hewan korban berupa kerbau dan babi. Dulu untuk upacara mendirikan Ngadhu bisa menyembelih ratusan ekor kerbau sesuai dengan filosofi waktu itu “sogo tolo jogho na’a kena mata go, tana kapa-kapa na’a kena mata laba” (bila perlu menghutang yang penting bisa membangun Ngadhu). Saat ini masyarakat mulai sadar dan menyederhanakan jumlah hewan korban.
Adapun Suku Thuru telah mengorbankan hewan korban untuk ritual Bhei Ngadhu Liko yakni seekor kerbau dan 15 ekor babi. Semua hewan korban ini kemudian dimasak dan dibagikan kepada warga kampung dalam sebuah ritual yang disebut “meghe” sebagai ucapan terimakasih atas peran serta mereka dalam seluruh ritual membangun Ngadhu yang baru.Darah kerbau pun dioleskan pada Ngadhu Liko sebagai tanda bahwa Ngadhu dibangun dengan korban darah dan oleh darah, semua anggota suku harus bersatu dan tak boleh ada pertumpahan darah dengan sesama.
Bagi penulis, menyaksikan seluruh jalannya ritual Bhei
Ngadhu, seolah-olah kembali ke 500 tahun lalu. Penulis bersyukur dapat
menyaksikan ritual yang boleh dikatakan langka ini karena hanya
terjadi bila Ngadhu yang ada harus diganti, mungkin seratus atau limaratus
tahun mendatang. Pertanyaan menggelayut dalam benak, akankah 500
tahun mendatang orang
masih mewariskan kearifan lokal leluhurnya? Ya, meskipun saya sudah tak ada waktu itu, tapi hari ini
saya berharap, kearifan lokal akan tetap
langgeng dari alfa sampai omega, awal
sampai akhir. Sebuah harapan manusiawi, sangat
manusiawi.***(Agust G Thuru)
Komentar
Posting Komentar