KOPERASI BENDUNG BUDAYA PESTA


LAIN PADANG, lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, pepatah ini mau menggambarkan betapa uniknya masyarakat Indonesia yang mendiami gugusan pulau-pulau berjejer dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Keanekaragaman budaya itu adalah potensi bangsa yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Namun kita pun tak boleh menutup mata bahwa ada warisan budaya yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Misalnya budaya yang cenderung pada pemborosan secara ekonomis.
Di kalangan masyarakat etnis Bajawa (salah satu etnis yang mendiami Kabupaten Ngada di pulau Flores) ada budaya menggelar pesta dengan tujuan untuk memberi makan para janda (fai walu) dan anak yatim piatu (ana salo). Biasanya yang empunya pesta adat membantai ratusan ekor kerbau, kuda dan babi untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin. Celakanya yang mempunyai pesta tak segan-segan menghutang. Soal menghutang ini di kalangan etnis Bajawa diungkapkan dengan bahasa adat ‘Sogo jogho na’a ngia mata go, tana kapa na’a ngia mata laba’ artinya biar hidup penuh hutang asal bisa menggelar pesta dengan menabuh gong (go) dan gendang (laba) dan bersukaria dengan menari bersama selama beberapa hari. Tak heran bila pengembalian hutang itu menjadi warisan turun temurun, bahkan sampai puluhan tahun belum juga lunas. Akibatnya hidup seolah-olah bekerja keras jungkir balik hanya untuk mengembalikan hutang atau menurut istilah masyarakat Bajawa, koe zele, dheki zili, menggali lubang sebelah atas untuk menupup lubang sebelah bawah. Artinya lubangnya (hutangnya) tak pernah bisa lunas.
Pada hal, leluhur masyarakat Bajawa juga mewariskan kearifan lokal yang mengajarkan tentang hidup hemat. Filosofi orang Bajawa tentang hidup hemat diungkapkan dengan bahasa adat ‘toka se alu, resi se alu’ artinya kalau ada hasil panen ( nenek moyang orang Bajawa menyimpan hasil panen dalam bambu yang disebut ‘toke’ atau ‘bela’ yang mempunyai beberapa ruas) jangan dihabiskan tetapi harus ada sisanya. Jika dihabiskan satu ruas maka harus ada sisa satu ruas pula. Kearifan lokal ini nyaris terkubur oleh budaya pesta yang lebih kuat pengaruh sosialnya. Apa lagi, bagi yang tidak pernah menggelar pesta maka status sosial dalam masyarakat pun dipandang rendah.
Adanya budaya menghutang untuk pesta dan menghutang untuk membayar hutang diakui oleh tokoh masyarakat Ngada Drs. Joseph Dopo. Ia juga mengakui adanya kearifan local masyarakat Ngada ‘Toka se alu resi se alu’ yang artinya hidup hemat. Dimintai komentarnya, Senin (10/1/2010) di Denpasar, Ketua Pengurus Puskopdit Bekatigade Ende-Nagekeo-Ngada (BENN) ini membenarkan di kalangan masyarakat, bukan saja di Ngada tetapi di NTT, kebiasaan menghutang untuk pesta dan menghutang untuk membayar hutang masih ada sampai sekarang. Budaya pesta yang mengharuskan adanya hewan korban bernilai puluhan bahkan ratusan juta masih dijalankan. Diyakini kalau tidak menggelar pesta maka akan mendapat kutukan dari para leluhur.
Budaya pesta selalu berhubungan dengan peristiwa hidup dan mati manusia. Artinya di saat hidup, ada ritual adat agar manusia hidup aman dan terhindar dari segala bentuk halangan dan pada saat mati pun ada upacara adat yang mau menghantar manusia ke alam yang lain. Budaya pesta, salah satunya pesta orang mati bukan hanya muncul di kalangan masyarakat etnis Bajawa. Umumnya masyarakat di NTT mempunyai budaya pesta dengan berbagai tema, misalnya pesta adat panen, pesta laut, kenduri, pesta rumah, pesta ngadhu dan lain-lain.
Namun dengan kehadiran Credit Union pada tahun 1970-an atau kehadiran Koperasi Kredit pada tahun 1980-an masyarakat mulai sadar untuk hidup hemat. Dikatakan Joseph, yang mantan anggota DPRD Ngada ini, budaya pesta terutama yang berkaitan erat dengan adat, masih dijalankan sampai sekarang tetapi ada penyederhanaan hewan korban, misalnya cukup satu ekor kerbau dan beberapa ekor babi, itupun hasil patungan dari semua anggota dalam satu suku. Masyarakat sadar betapa pentingnya hidup hemat dan bentuk dari hidup hemat adalah menabung sebagian dari pendapatannya sesuai dengan filosofi ‘Toka Se Alu, Resi Se Alu’. “Ini yang terjadi di kalangan masyarakat Bajawa, mereka sadar bahwa dengan menabung, mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang sangat mendesak” ujarnya.
Dikatakan, koperasi-koperasi di bawah payung Puskopdit BENN terus memberikan motivasi kepada masyarakat agar mereka mulai meninggalkan kebiasaan hidup dalam pemborosan dan menyiapkan masa depan hidup yang lebih baik dengan menabung, terutama menabung di koperasi. Kata pensiunan PNS ini, kehadiran Kopdit telah turut mengubah pola pikir masyarakat, dari pola pikir yang konsumptif ke pola pikir yang produktif, termasuk menghemat. Budaya pesta memang masih dilakukan tetapi cenderung tidak melakukan pemborosan. nGUS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KOPDIT SINAR HARAPAN

KSP MULIA SEJAHTERA TABANAN