MAGHILEWA...KAMPUNGKU DARI DULU SAMPAI SEKARANG...
ANAK RANTAU... dalam bahasa Bajawa, ana loza atau ata we, mungkin julukan yang cocok bagiku. Pasalnya sejak menyelesaikan pendidikan di Sekolah dasar katolik Inerie tahun 1969, aku sudah meninggalkan kampung Maghilewa. Aku bersekolah di bajawa, di SMP Sanjaya yang kini sudah menjadi SMP Negeri 1 Bajawa. Di Bajawa, aku belajar tiga tahun dari tahun 1970 sampai 1972.
Masih ada orang tua yang kucintai...Ine Domi!
Terlalu banyak kenangan masa kecil di kampung Maghilewa. Sebagai anak desa, bersekolah dengan hanya berselimutkan kain, bertelanjang dada, dan maaf...bahkan tak bercelana alas. Jadi tidak heran jika kami berolahraga, anak laki-laki telanjang bulat sedangkan perempuan tetap memakai kain. Tetapi jika kami ke pantai Waesugi, anak laki-laki maupun perempuan mandi telanjang. Tak ada rasa apapun karena kami hanyalah anak desa yang polos.
Ini jga orang yang kucintai...Ine Nela!
Saat bersekolah di SDK Inerie,tahun 1963 sampai 1969, kepala sekolah waktu itu Bapak Hendrikus Ria, seorang yang tegas dan penuh disiplin. Dari kelas 2 hingga kelas 6 guru kelas saya adalah bapak Valentinus Wangu, seorang guru yang saya kagumi dan saya cintai. Sedangkan guru-guru lainnya adalah bapak Yoseph Rawi, Bapak Piet Du'e, Bapak Alo Buru, Bapak Yoseph Woi, dan lain-lain. Kami satu kelas berjumlah 60 orang, namun yang lulus ujian hanya 11 orang. Pengalaman yang tak mudah hilang adalah pada tahun 1969, bumi Flores termasuk kampungku Maghilewa gelap gulita dan diterpa hujan abu dari letusan Gunung Ia di Ende.
Dari 11 orang yang lulus itu yang melanjutkan ke SMP adalah aku sendiri, Roni Pea, Yoseph Madha, Dami Jawa dan Tinus Rato. Sayang sekali Dami Jawa dan Tinus Rato berhenti di tengah jalan, sedangkan aku, Roni Pea dan Yoseph Madha melanjutkan terus hingga menyelesaikan Sekolah lanjutan Atas. Aku menyelesaikan pendidikan di SPGK Don Bosko Maumere ( kini SMAK Yohanes Paulus II) tahun 1977, Roni Pea menyelesaikan pendidikan di SMA Ki Hajar Dewantara (Kini SMAN 1 Bajawa) dan Yoseph Madha menyelesaikan pendidikan di SPGK Xaverius Boawae (kini SMAK Xaverius). Roni pea pun melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi (Undana) hingga sarjana dan kini mengabdi sebagai guru. Yoseph Madha menjadi guru SD dan PNS dan aku sendiri melanjutkan pendidikan di STKIP Widya Yuwana Madiun, sekolah yang mendidik tenaga katekis.
Banyak kenangan saat mengenyam pendidikan di di SMP Sanjaya tahun 1970-1972. Kepala sekolahnya yang tegas Bapa Nikolaus Ruma, para guru yang penuh disiplin Bapak Paulus Sebolalu, Bapak Kobus Botha, Bapak Domi Ngao, Bapak Ande Balo, Bapak Paulus Go, Bapak Yan Ngebu, bapak Mikel Wonga dan lain-lain. Teman-teman sekolah waktu itu Blasius Lizu, Yoachim Judha, Moses Awe, Yopi Huik, Gregorius Rudu, Roni Pea, Yoseph Madha,Alo Soi, Abel Nono, Leo Sebo, Eta Wou, Yo Dama dan lain-lain yang sudah tak kuingat lagi. Kala itu kota Bajawa tidak seperti sekarang ini. Jalan-jalan di kota belum beraspal. Kota Bajawa hanya sekitar Karmel, Tanalodu, Ngedukelu dan Waenai. Kami ke sekolah pun tidak berseragam dan tidak memakai sepatu atau sendal. Ketika di kelas 2 baru ada aturan supaya para siswa memakai sendal. Nah, untuk memakai sendah kami harus belajar berminggu-minggu. Tak heran, supaya tidak terlambat ke sekolah, sendal harus dijinjing dan baru dipakai saat masuk kelas.
Setelah tamat SMP Sanjaya Bajawa, aku sempat tinggal setahun di kampung pada tahun 1973. Ibuku Fransiska Wula waktu itu sakit. Selama satu tahun aku bersama dengan orang tua (bapa Arnoldus Deghe) lebih banyak tinggal di kebun Kalatere dan Waeguru. Menggembalakan kuda dan bermain musik okalele pada malam hari bersama ayah adalah kenangan yang sulit untuk terhapus. Dan kenangan paling dasyat adalah angin topan yang meluluhlantakkan pepohonan bahkan hutan Gunung Inerie nyaris gundul.Tanaman perdagangan banyak yang tumbang, rumah pun banyak roboh.
Tahun 1974, aku meninggalkan kampung Maghilewa. Kali ini merantau ke Kota Ende. Kebetulan lamaran untuk masuk kandidat Bruder SVD diterima. Maka aku dan leo Sebo memasuki biara Buruder di St. Yoseph. Kami memulai pendidikan. Tapi pada pagi hari kami harus bekerja untuk belajar ketrampilan. Aku dan leo Sebo masuk di bengkel jahit yang dipimpin oleh Bruder Hubert SVD. Aku ingat teman-teman di kandidat bruder itu seperti Alex Bangkut, Nimus Gaza Bartolomeus Tolo dan lain-lain. Sebagai postulan, kami menjalaninya selama satu tahun. Tapi pada tahun 1975 ada aturan dari General SVD supaya pendidikan para bruder minimal SLTA. Para kandidat pun disekolahkan. Aku menempuh pendidikan di SPG Negeri Ende.
Kenangan paling dasyat pada tahun 1975 adalah ketika aku harus kehilangan dua orang yang tercinta dalam kurun waktu satu bulan. Ayahku meninggal 5 November 1975 dan ibuku menyusul 19 November 1975.Peristiwa itu membuatku goyah. Kakakku Dami di Maumere menganjurkan aku untuk pindah sekolah di Maumere. Maka mulailah lagi perantauan ke Maumere tahun 1976. Di sini aku masuk kelas II SPGK Don Bosko. Aku satu kelas dengan Benyamin Ja, Agustinus Dodik, Selerinus Ranga,Bartolomeus Kua, Yoseph hendrik, Herman Joseph Jati dan lain-lain. Kepala sekolah waktu itu Bapak Lukas Lusi BA. Aku menyelesaikan pendidikan di SPGK Don Bosko tahun 1977.
Ini kakakku Maria Moladeghe, yang setia menunggui rumah adatku Sao Ledo
Bulan Juli 1977 aku kembali ke kampung Maghilewa. Kebetulan di Aimere dibuka sekolah baru SMP Jaramasi (Kini SMP Negeri I Aimere). Dan akupun mengabdikan diri sebagai guru, bersama-sama dengan para guru muda seperti Rofinus Ria, Pit Kilanawa, Leo Sebo, Moni Fao, Martha Belu,Simpn Paka dan lain-lain. Para murid yang masih kuingat antara lain Beci Sutoro, Yuli Dhena, Alex Rani, Clara Dopo dan lain-lain. Banyak kenangan di Aimere. Tapi satu kenangan yang tak bisa kulupakan adalah ketika aku terserang malaria tropika sehingga harus mendekam di sel polisi, bukan karena berbuat jahat, tetapi karena aku mengamuk. Namanya kena malaria tropika, sudah seperti orang gila.
Tahun 1979 aku pindah mengajar di SMP Pancakarsa Malapedho, di kampungku sendiri. Para guru waktu itu adalah Eman Sebobhoga, Bene Milo, ibu Oli, Donatus Bebi, Sius Ngazo dan lain-lain. Para siswa yang masih kuingat antara lain Romo Alo Lae,Pr, Niko Wea, Joni Wea, Fanci Tuga, dan lain-lain yang tak kuingat lagi. Tapi aku hanya bertahan satu tahun, karena setelah itu aku kembali ke Maumere. Tahun 1980, di Maumere aku mengajar di SMPK Kewapante dan hanya bertahan satu tahun, akupun menyeberang pulau, meninggalkan Flores.
Tahun 1981, suasana baru di Kota Malang Jawa Timur. Aku belajar di Institut Pastoral Indonesia. Selama tahun tahun teori, kemudian tahun kedua (1982) melakukan praktek pastoral ke Sumatera selatan. Ada banyak hal yang terjadi di tempat ini dan mengharuskan aku untuk meninggalkan tempat praktek. Dan aku dikeluarkan dari IPI Malang. Sempat merantau ke Jakarta tahun 1983 dan sempat kuliah satu semester di STKIP Karyawacana Jakarta, sebelum akhirnya aku terdampar di Jember. Di kota ini aku mengajar di SMPK Yos Sudarso hingga tahun 1986.
Juli Tahun 1986 aku diterima belajar di STKIP Widya Yuwana Madiun dengan memperoleh bea siswa. Tahun 1987, lamaran untuk menjadi calon imam keuskupan Denpasar diterima. Aku kembali ke Flores dan menjalani Tahun Orientasi Rohani di Seminari Tinggi Ritapiret. Romo Pembimbing TOR waktu itu adalah Yang Mulia Bapa Uskup Agung Ende sekarang ini Mgr. Vinsensius Sensi,Pr. Teman-teman satu angkatan antara lain, Romo Herman Yoseph Babey,Pr, Romo Eventius Dewantara,Pr, Romo Festo da Santo, Romo Marsel, Romo Thomas Labina, Romo Dedy Madur, Romo Stefanus Mau, Romo Agus Parera, dan lain-lain baik yang menjadi imam maupun yang kembali menjadi awam seperti diriku.
Tahun 1988 aku kembali ke Madiun meneruskan pendidikan di STKIP Widya Yuwana. Aku sekelas dengan Yohana Lintina, Kristin S, Zenny Priambowo yang sekarang mengabdi di Keuskupan Denpasar. Aku juga sekelas dengan Romo Agus Sugiarto yang kini pastor paroki Gianyar di Bali. Dan aku menyelesaikan pendidikan di STKIP tahun 1990 lalu mengundurkan diri dari frater. Tahun 1991 - 1992 aku bekerja di Radio Dirgan Bravo Padang.
Tanggal 16 Mei 1992 aku menikah dengan Cecilia Mesti Sumiwi, yang memberiku dua putra Martinus Reswan Agwika Deghe Thuru (16 tahun/Kelas XI SMK Bali Global) dan Vitalis Arnoldus Prasetya Thena Thuru (13 tahun/kelas VII SMP Nasional Denpasar). Di tahun yang sama kami kembali ke Bajawa. Aku bekerja sebagai wartawan Dian sejak tahun 1993 sampai dengan 1997. Dan kembali meninggalkan Flores tahun 1997. Sejak tahun 1998 aku dan keluarga menetap di Denpasar. Di sini aku bekerja di beberapa tempat, tetapi aku menemukan jati diri, bahwa Tuhan memberiku talenta untuk berkarya di bidang media cetak.
Meninggalkan kampung halaman dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2010, tentu suatu masa yang sangat lama. Ada kerinduan untuk ke kampung sekedar berlibur, namun rasanya, semuanya menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Tanggal 12 September 2010 aku berkesempatan kembali ke Bajawa untuk mengikuti pelantikan Bupati Ngada Marianus Sae. Kebetulan beliau adalah teman di Denpasar, mantan ketua IKADA Bali, dan pernah bersama-sama mengelola koran Flores Paradise. Setelah 12 tahun di rantauan, aku kembali ke kampung.
Kota Bajawa sudah banyak berubah, tidak seperti 12 tahun yang lalu. Yang tidak berubah adalah, kota ini tetap dingin. Yang juga tidak berubah adalah, kota ini tetap gersang, tanpa pepohonan, tanpa bunga di pinggir jalan. Pada hal kota Bajawa adalah kota di pegunungan dengan udara yang segar serta cocok disulap menjadi kota dengan sejuta bunga dan pohon hias beraneka ragam. Mungkin nanti Bapak Bupati Marianus Sae dan Wakil Bupati Paulus Soliwoa yang akan mengubah wajah kota Bajawa menjadi lebih artistik, indah, bahkan menjadi kota di tengah hutan nan hijau.
Kerinduan pada kampung Maghilewa memang sudah 12 tahun. Dan tanggal 15 September aku bisa menapakkan kaki di tanah kelahiran. Kampung baru bernama Malapedho di tepi pantai Waesugi sudah banyak berubah. Ada sinar wajah yang mencerminkan bahwa secara ekonomis masyarakat sudah hidup jauh lebih baik dari 12 tahun silam. Rumah-rumah permanen dan semi parmanen berdiri antara denah kampung yang tertata rapi. Dan jika aku berada di Malapedho, maka sosok Rofinus Raga, sang kepala desa yang berani memulai sesuatu yang baru, mendekatkan diri dengan perubahan. Bagiku, dia memang tokoh, yang membuat sesuatu berubah, dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Jalan menuju kampung tradisional Maghilewa yang 12 tahun silam hanyalah jalan setapak, kini telah berubah menjadi calon jalan raya. Aku bisa membayangkan, andaikata jalan ini dibalut aspal, ia akan memberikan nuansa dan pemandangan yang indah. Sebuah ruas jalan yang akan meliuk-liuk pada pucuk bukit yang di kiri kanan adalah jurang yang dalam menganga. Areal tanah yang dulu padang ilalang, kini telah menjadi perkebunan tanaman perdagangan, yang memberikan hasil. Nyiur masih tetap melambai seperti dulu, pohon lontar masih memberikan kehidupan, terutama memberikan nira yang kemudian diolah menjadi arak, orang-orangku menyebutnya 'moke;.
Gereja tua di Maghilewa tempo dulu telah tiada. Yang ada sebuah gereja kecil, dengan halaman yang tak terawat. Kuburan nenek moyang dan leluhur, orang tua dan sanak saudara pun tidak dirawat. Tidak seperti di Jawa, orang-orang begitu senang merawat pekuburan, bahkan menjadikannya sebagai tempat ziarah atau rekreasi keluarga, beranjangsana dengan orang-orang yang telah pergi. Di kuburan inilah, ayahku, ibuku, nenek dan semua orang yang kucintai dikuburkan. Sebuah pekuburan yang nyaris tak ada maknanya lagi. Sebab orang-orangku lebih gemar menguburkan orang-orang kecintaan mereka di depan rumah adat atau di rumkah tinggal mereka, meskipun kuburan itu menjadi tempat diduduki, diinjak-injak.
Dan...aku bangga bahwa kampungku masih seperti dulu. Rumah tradisional masih berdiri berjejer-jejer. Masih ada ngadhu dan bhaga. Masih ada megalith yang kami sebut watu lanu atau ture dengan namanya masing-masing, nama para leluhur. Di kampung ini berdiri rumah adat sukuku 'Woe Turu' yakni Sao Ledo (Saka Puu/rumah pokok), sao lokatua (saka lobo), sao sila, sao lilo, sao deghe, sao nua. Di kampung ini berdiri ngadhu Liko dan bhaga bari. Aku masih bisa duduk di rumjah adat yang kucintai bertemu dengan saudariku, yang setia merawat warisan leluhurku.
Yah, di Maghilewa ada pusara-pusara orang tercinta, ada orang-orang yang masih terus berjuang untuk membangun kehidupan. Di Malapedho ada mama-mamaku yang sudah tua, ada pusara-pusara orang yang kuci9ntai. Tapi aku tak bisa berada di sini. Aku sudah terbiasa hidup di rantau. Jika demikian, hanya ada satu langkah, aku kembali ke Bali. Dan benar...aku tetap memilih Bali, bahkan untuk selamanya di sini..
Masih ada orang tua yang kucintai...Ine Domi!
Terlalu banyak kenangan masa kecil di kampung Maghilewa. Sebagai anak desa, bersekolah dengan hanya berselimutkan kain, bertelanjang dada, dan maaf...bahkan tak bercelana alas. Jadi tidak heran jika kami berolahraga, anak laki-laki telanjang bulat sedangkan perempuan tetap memakai kain. Tetapi jika kami ke pantai Waesugi, anak laki-laki maupun perempuan mandi telanjang. Tak ada rasa apapun karena kami hanyalah anak desa yang polos.
Ini jga orang yang kucintai...Ine Nela!
Saat bersekolah di SDK Inerie,tahun 1963 sampai 1969, kepala sekolah waktu itu Bapak Hendrikus Ria, seorang yang tegas dan penuh disiplin. Dari kelas 2 hingga kelas 6 guru kelas saya adalah bapak Valentinus Wangu, seorang guru yang saya kagumi dan saya cintai. Sedangkan guru-guru lainnya adalah bapak Yoseph Rawi, Bapak Piet Du'e, Bapak Alo Buru, Bapak Yoseph Woi, dan lain-lain. Kami satu kelas berjumlah 60 orang, namun yang lulus ujian hanya 11 orang. Pengalaman yang tak mudah hilang adalah pada tahun 1969, bumi Flores termasuk kampungku Maghilewa gelap gulita dan diterpa hujan abu dari letusan Gunung Ia di Ende.
Dari 11 orang yang lulus itu yang melanjutkan ke SMP adalah aku sendiri, Roni Pea, Yoseph Madha, Dami Jawa dan Tinus Rato. Sayang sekali Dami Jawa dan Tinus Rato berhenti di tengah jalan, sedangkan aku, Roni Pea dan Yoseph Madha melanjutkan terus hingga menyelesaikan Sekolah lanjutan Atas. Aku menyelesaikan pendidikan di SPGK Don Bosko Maumere ( kini SMAK Yohanes Paulus II) tahun 1977, Roni Pea menyelesaikan pendidikan di SMA Ki Hajar Dewantara (Kini SMAN 1 Bajawa) dan Yoseph Madha menyelesaikan pendidikan di SPGK Xaverius Boawae (kini SMAK Xaverius). Roni pea pun melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi (Undana) hingga sarjana dan kini mengabdi sebagai guru. Yoseph Madha menjadi guru SD dan PNS dan aku sendiri melanjutkan pendidikan di STKIP Widya Yuwana Madiun, sekolah yang mendidik tenaga katekis.
Banyak kenangan saat mengenyam pendidikan di di SMP Sanjaya tahun 1970-1972. Kepala sekolahnya yang tegas Bapa Nikolaus Ruma, para guru yang penuh disiplin Bapak Paulus Sebolalu, Bapak Kobus Botha, Bapak Domi Ngao, Bapak Ande Balo, Bapak Paulus Go, Bapak Yan Ngebu, bapak Mikel Wonga dan lain-lain. Teman-teman sekolah waktu itu Blasius Lizu, Yoachim Judha, Moses Awe, Yopi Huik, Gregorius Rudu, Roni Pea, Yoseph Madha,Alo Soi, Abel Nono, Leo Sebo, Eta Wou, Yo Dama dan lain-lain yang sudah tak kuingat lagi. Kala itu kota Bajawa tidak seperti sekarang ini. Jalan-jalan di kota belum beraspal. Kota Bajawa hanya sekitar Karmel, Tanalodu, Ngedukelu dan Waenai. Kami ke sekolah pun tidak berseragam dan tidak memakai sepatu atau sendal. Ketika di kelas 2 baru ada aturan supaya para siswa memakai sendal. Nah, untuk memakai sendah kami harus belajar berminggu-minggu. Tak heran, supaya tidak terlambat ke sekolah, sendal harus dijinjing dan baru dipakai saat masuk kelas.
Setelah tamat SMP Sanjaya Bajawa, aku sempat tinggal setahun di kampung pada tahun 1973. Ibuku Fransiska Wula waktu itu sakit. Selama satu tahun aku bersama dengan orang tua (bapa Arnoldus Deghe) lebih banyak tinggal di kebun Kalatere dan Waeguru. Menggembalakan kuda dan bermain musik okalele pada malam hari bersama ayah adalah kenangan yang sulit untuk terhapus. Dan kenangan paling dasyat adalah angin topan yang meluluhlantakkan pepohonan bahkan hutan Gunung Inerie nyaris gundul.Tanaman perdagangan banyak yang tumbang, rumah pun banyak roboh.
Tahun 1974, aku meninggalkan kampung Maghilewa. Kali ini merantau ke Kota Ende. Kebetulan lamaran untuk masuk kandidat Bruder SVD diterima. Maka aku dan leo Sebo memasuki biara Buruder di St. Yoseph. Kami memulai pendidikan. Tapi pada pagi hari kami harus bekerja untuk belajar ketrampilan. Aku dan leo Sebo masuk di bengkel jahit yang dipimpin oleh Bruder Hubert SVD. Aku ingat teman-teman di kandidat bruder itu seperti Alex Bangkut, Nimus Gaza Bartolomeus Tolo dan lain-lain. Sebagai postulan, kami menjalaninya selama satu tahun. Tapi pada tahun 1975 ada aturan dari General SVD supaya pendidikan para bruder minimal SLTA. Para kandidat pun disekolahkan. Aku menempuh pendidikan di SPG Negeri Ende.
Kenangan paling dasyat pada tahun 1975 adalah ketika aku harus kehilangan dua orang yang tercinta dalam kurun waktu satu bulan. Ayahku meninggal 5 November 1975 dan ibuku menyusul 19 November 1975.Peristiwa itu membuatku goyah. Kakakku Dami di Maumere menganjurkan aku untuk pindah sekolah di Maumere. Maka mulailah lagi perantauan ke Maumere tahun 1976. Di sini aku masuk kelas II SPGK Don Bosko. Aku satu kelas dengan Benyamin Ja, Agustinus Dodik, Selerinus Ranga,Bartolomeus Kua, Yoseph hendrik, Herman Joseph Jati dan lain-lain. Kepala sekolah waktu itu Bapak Lukas Lusi BA. Aku menyelesaikan pendidikan di SPGK Don Bosko tahun 1977.
Ini kakakku Maria Moladeghe, yang setia menunggui rumah adatku Sao Ledo
Bulan Juli 1977 aku kembali ke kampung Maghilewa. Kebetulan di Aimere dibuka sekolah baru SMP Jaramasi (Kini SMP Negeri I Aimere). Dan akupun mengabdikan diri sebagai guru, bersama-sama dengan para guru muda seperti Rofinus Ria, Pit Kilanawa, Leo Sebo, Moni Fao, Martha Belu,Simpn Paka dan lain-lain. Para murid yang masih kuingat antara lain Beci Sutoro, Yuli Dhena, Alex Rani, Clara Dopo dan lain-lain. Banyak kenangan di Aimere. Tapi satu kenangan yang tak bisa kulupakan adalah ketika aku terserang malaria tropika sehingga harus mendekam di sel polisi, bukan karena berbuat jahat, tetapi karena aku mengamuk. Namanya kena malaria tropika, sudah seperti orang gila.
Tahun 1979 aku pindah mengajar di SMP Pancakarsa Malapedho, di kampungku sendiri. Para guru waktu itu adalah Eman Sebobhoga, Bene Milo, ibu Oli, Donatus Bebi, Sius Ngazo dan lain-lain. Para siswa yang masih kuingat antara lain Romo Alo Lae,Pr, Niko Wea, Joni Wea, Fanci Tuga, dan lain-lain yang tak kuingat lagi. Tapi aku hanya bertahan satu tahun, karena setelah itu aku kembali ke Maumere. Tahun 1980, di Maumere aku mengajar di SMPK Kewapante dan hanya bertahan satu tahun, akupun menyeberang pulau, meninggalkan Flores.
Tahun 1981, suasana baru di Kota Malang Jawa Timur. Aku belajar di Institut Pastoral Indonesia. Selama tahun tahun teori, kemudian tahun kedua (1982) melakukan praktek pastoral ke Sumatera selatan. Ada banyak hal yang terjadi di tempat ini dan mengharuskan aku untuk meninggalkan tempat praktek. Dan aku dikeluarkan dari IPI Malang. Sempat merantau ke Jakarta tahun 1983 dan sempat kuliah satu semester di STKIP Karyawacana Jakarta, sebelum akhirnya aku terdampar di Jember. Di kota ini aku mengajar di SMPK Yos Sudarso hingga tahun 1986.
Juli Tahun 1986 aku diterima belajar di STKIP Widya Yuwana Madiun dengan memperoleh bea siswa. Tahun 1987, lamaran untuk menjadi calon imam keuskupan Denpasar diterima. Aku kembali ke Flores dan menjalani Tahun Orientasi Rohani di Seminari Tinggi Ritapiret. Romo Pembimbing TOR waktu itu adalah Yang Mulia Bapa Uskup Agung Ende sekarang ini Mgr. Vinsensius Sensi,Pr. Teman-teman satu angkatan antara lain, Romo Herman Yoseph Babey,Pr, Romo Eventius Dewantara,Pr, Romo Festo da Santo, Romo Marsel, Romo Thomas Labina, Romo Dedy Madur, Romo Stefanus Mau, Romo Agus Parera, dan lain-lain baik yang menjadi imam maupun yang kembali menjadi awam seperti diriku.
Tahun 1988 aku kembali ke Madiun meneruskan pendidikan di STKIP Widya Yuwana. Aku sekelas dengan Yohana Lintina, Kristin S, Zenny Priambowo yang sekarang mengabdi di Keuskupan Denpasar. Aku juga sekelas dengan Romo Agus Sugiarto yang kini pastor paroki Gianyar di Bali. Dan aku menyelesaikan pendidikan di STKIP tahun 1990 lalu mengundurkan diri dari frater. Tahun 1991 - 1992 aku bekerja di Radio Dirgan Bravo Padang.
Tanggal 16 Mei 1992 aku menikah dengan Cecilia Mesti Sumiwi, yang memberiku dua putra Martinus Reswan Agwika Deghe Thuru (16 tahun/Kelas XI SMK Bali Global) dan Vitalis Arnoldus Prasetya Thena Thuru (13 tahun/kelas VII SMP Nasional Denpasar). Di tahun yang sama kami kembali ke Bajawa. Aku bekerja sebagai wartawan Dian sejak tahun 1993 sampai dengan 1997. Dan kembali meninggalkan Flores tahun 1997. Sejak tahun 1998 aku dan keluarga menetap di Denpasar. Di sini aku bekerja di beberapa tempat, tetapi aku menemukan jati diri, bahwa Tuhan memberiku talenta untuk berkarya di bidang media cetak.
Meninggalkan kampung halaman dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2010, tentu suatu masa yang sangat lama. Ada kerinduan untuk ke kampung sekedar berlibur, namun rasanya, semuanya menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Tanggal 12 September 2010 aku berkesempatan kembali ke Bajawa untuk mengikuti pelantikan Bupati Ngada Marianus Sae. Kebetulan beliau adalah teman di Denpasar, mantan ketua IKADA Bali, dan pernah bersama-sama mengelola koran Flores Paradise. Setelah 12 tahun di rantauan, aku kembali ke kampung.
Kota Bajawa sudah banyak berubah, tidak seperti 12 tahun yang lalu. Yang tidak berubah adalah, kota ini tetap dingin. Yang juga tidak berubah adalah, kota ini tetap gersang, tanpa pepohonan, tanpa bunga di pinggir jalan. Pada hal kota Bajawa adalah kota di pegunungan dengan udara yang segar serta cocok disulap menjadi kota dengan sejuta bunga dan pohon hias beraneka ragam. Mungkin nanti Bapak Bupati Marianus Sae dan Wakil Bupati Paulus Soliwoa yang akan mengubah wajah kota Bajawa menjadi lebih artistik, indah, bahkan menjadi kota di tengah hutan nan hijau.
Kerinduan pada kampung Maghilewa memang sudah 12 tahun. Dan tanggal 15 September aku bisa menapakkan kaki di tanah kelahiran. Kampung baru bernama Malapedho di tepi pantai Waesugi sudah banyak berubah. Ada sinar wajah yang mencerminkan bahwa secara ekonomis masyarakat sudah hidup jauh lebih baik dari 12 tahun silam. Rumah-rumah permanen dan semi parmanen berdiri antara denah kampung yang tertata rapi. Dan jika aku berada di Malapedho, maka sosok Rofinus Raga, sang kepala desa yang berani memulai sesuatu yang baru, mendekatkan diri dengan perubahan. Bagiku, dia memang tokoh, yang membuat sesuatu berubah, dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Jalan menuju kampung tradisional Maghilewa yang 12 tahun silam hanyalah jalan setapak, kini telah berubah menjadi calon jalan raya. Aku bisa membayangkan, andaikata jalan ini dibalut aspal, ia akan memberikan nuansa dan pemandangan yang indah. Sebuah ruas jalan yang akan meliuk-liuk pada pucuk bukit yang di kiri kanan adalah jurang yang dalam menganga. Areal tanah yang dulu padang ilalang, kini telah menjadi perkebunan tanaman perdagangan, yang memberikan hasil. Nyiur masih tetap melambai seperti dulu, pohon lontar masih memberikan kehidupan, terutama memberikan nira yang kemudian diolah menjadi arak, orang-orangku menyebutnya 'moke;.
Gereja tua di Maghilewa tempo dulu telah tiada. Yang ada sebuah gereja kecil, dengan halaman yang tak terawat. Kuburan nenek moyang dan leluhur, orang tua dan sanak saudara pun tidak dirawat. Tidak seperti di Jawa, orang-orang begitu senang merawat pekuburan, bahkan menjadikannya sebagai tempat ziarah atau rekreasi keluarga, beranjangsana dengan orang-orang yang telah pergi. Di kuburan inilah, ayahku, ibuku, nenek dan semua orang yang kucintai dikuburkan. Sebuah pekuburan yang nyaris tak ada maknanya lagi. Sebab orang-orangku lebih gemar menguburkan orang-orang kecintaan mereka di depan rumah adat atau di rumkah tinggal mereka, meskipun kuburan itu menjadi tempat diduduki, diinjak-injak.
Dan...aku bangga bahwa kampungku masih seperti dulu. Rumah tradisional masih berdiri berjejer-jejer. Masih ada ngadhu dan bhaga. Masih ada megalith yang kami sebut watu lanu atau ture dengan namanya masing-masing, nama para leluhur. Di kampung ini berdiri rumah adat sukuku 'Woe Turu' yakni Sao Ledo (Saka Puu/rumah pokok), sao lokatua (saka lobo), sao sila, sao lilo, sao deghe, sao nua. Di kampung ini berdiri ngadhu Liko dan bhaga bari. Aku masih bisa duduk di rumjah adat yang kucintai bertemu dengan saudariku, yang setia merawat warisan leluhurku.
Yah, di Maghilewa ada pusara-pusara orang tercinta, ada orang-orang yang masih terus berjuang untuk membangun kehidupan. Di Malapedho ada mama-mamaku yang sudah tua, ada pusara-pusara orang yang kuci9ntai. Tapi aku tak bisa berada di sini. Aku sudah terbiasa hidup di rantau. Jika demikian, hanya ada satu langkah, aku kembali ke Bali. Dan benar...aku tetap memilih Bali, bahkan untuk selamanya di sini..
Komentar
Posting Komentar